Sabtu, 24 September 2011

Pendidikan


Pendidikan


PENTINGNYA PENDIDIKAN


Pendidikan adalah yang utama dan terutama di dalam kehidupan era masa sekarang ini. Sejauh kita memandang maka harus sejauh itulah kita harus memperlengkapi diri kita dengan berbagai pendidikan. Kita jangan salah memahami bahwa pendidikan diperoleh dengan cara menempuh jalur formal saja, dengan cara datang, duduk, mendengar dan selanjutnya hingga akan memperoleh penghargaan dari test yang sudah dilewat.
Pendidikan dapat kita dapatkan bukan hanya dari sekolah saja tetapi dari kehidupan sehari-hari juga karena dari kehidupan sehari-hari kita juga bisa mendapatkan pendidikan walaupun bukan pelajaran seperti yang ada di sekolah-sekolah contohnya pendidikan di masyarakat seperti bagaimana cara kita bertingkah laku dalam kehidupan masyarakat baik cara berbicara kita,berpakaian,berjalan,dsb.
Pendidikan di sekolah juga memang lebih banyak dan lebih memberi manfaat bagi kita semua tetapi itu juga belum tentu karena kebanyakan anak sekolah zaman sekarang ini sepertinya sudah tidak terlalu menganggap penting semua itu misalnya saja pada sekarang-sekarang ini banyak juga kita temui anak sekolah yang bolos tidak memperdulikan sekolah,mereka biasanya kalau bolos pasti sering kita temui di tempat yang menyediakan fasilitas untuk bermain,dan sebagainya.


Ilmu pengetahuan dan pendidikan merupakan aset utama sebuah peradaban suatu bangsa. Itu menjadi modal dasar untuk kita bersaing meningkatkan taraf hidup, karena dua hal tersebut adalah parameter fundamental yang menentukan tingkat kecerdasan suatu bangsa, kemajuan suatu peradaban dan kedudukan sosial suatu masyarakat.
Permasalahan yang paling meradang dalam perkembangan pendidikan adalah mengenai kesenjangan pendidikan di berbagai daerah atau regional. Di satu sisi, tampak kemapanan dan taraf pendidikan yang layak dengan fasilitas yang memadai kita lihat di beberapa kota besar. Namun di sisi lain, realita yang menyedihkan terpampang jelas di daerah pedalaman yang miskin jauh dari akses modernisasi dan standar hidup yang layak.
Dalam menganalisis permasalahan yang ada serta menentukan strategi pendidikan dalam menyelesaikannya. Ada baiknya kita menengok evolusi perkembangan strategi pendidikan Indonesia dari tahun ke tahun sejak pertama kali negara ini mempunyai otoritas penuh menentukan strategi pendidikan untuk warga negaranya. Dalam perjalanan sejarah pendidikan di Indonesia, setidaknya sudah ada beberapa kali pergantian strategi dan penerapan sistem pembelajaran. Diawali pada tahun 1947 dengan sebutan Rentjana Pembelajaran 1947 di mana tujuan pendidikan pada masa itu menekankan pada pembentukan karakter rakyat untuk meyadari kedudukan bangsa Indonesia yang berdaulat dan sejajar dengan negara lain. Dalam analisisnya, hal ini dimaksudkan pemerintah untuk menanamkan kepercayaan diri bangsa Indonesia di tangah kondisi yang baru berdaulat dan merdeka dua tahun sebelumnya.
Kemudian pada tahun 1952, pendidikan mengalami perubahan lebih mengarah pada pembelajaran yang disesuaikan dengan kehidupan dan kebutuhan nyata yang dialami oleh masyarakat sehari-hari. Strategi ini dikenal dengan Rentjana Pelajaran Terurai 1952. Selanjutnya strategi ini disempurnakan dengan titik tekan pada pengembangan moral, kecerdasan emosional, keterampilan dan jasmani pada tahun 1964 bertajuk Program Pancawardhana. Ternyata keterampilan yang di dapat dalam kehidupan nyata siswa terlampau berbeda. Dinamikan sosial yang ditemui justru lebih kompleks dan perlu adanya penanaman ideologis kebangsaan agar pengembangan moral dan emosional peserta pendidikan memiliki tujuan dan dasar yang jelas. Hingga selanjutnya ketika masa pemerintahan orde baru bangsa Indonesia mencoba  mengiplemantasikan strategi pendidikan yang mengarah pada pembinaan jiwa pancasila sebagai landasan Ideologi dalam berbangsa dan bernegara. Dengan tujuan agar bangsa Indonesia berkembang berdasarkan ciri khas dan identitasnya.
Perkembangan strategi pembelajaran dalam pendidikan Indonesia mulai terasa efektif ketika pada tahun 1984 yang dikenal dengan Cara Belajar Siswa Aktif. Dalam pembelajaran ini, siswa terlibat aktif secara fisik, mental, intelektual dan emosional terhadap gurunya. Program pendidikan yang fleksibel yang mengutamakan tingkat interaksi siswa dan pengajar secara aktif. Program ini berbuah manis hingga melahirkan kedekatan personal antara guru dan siswa dan juga gairah belajar siswa yang meningkat tajam.
Namun seiring berjalannya waktu, proses pembelajaran dengan sistem pendidikan seperti ini memiliki kelemahan berupa kualitas bahan ajar yang diberikan oleh tenaga pengajar masih bersifat subjektif. Artinya, kapasitas materi tidak diutamakan, hingga akhirnya melahirkan kompetensi siswa yang tidak merata dan tidak memiliki standar pendidikan yang jelas. Dengan latar belakang kondisi seperti lahirnya otoritas pemerintah dalam pembentukan standar kurikulum yang akhirnya muncul ‘sistem pendidikan satu pintu’ untuk pertama kalinya di Indonesia yakni pada tahun 1994. Pemerintah pusat menyusun standar berdasarkan beberapa sekolah yang memiliki standar kualitas yang tinggi disertai dengan penunjang yang memadai.
Hingga akhirnya pada dekade terakhir, kurikulum yang sama berupa pembelajaran satu pintu namun dibungkus dengan nama lain berupa Kurikulum Berbasis Kompetensi. Dalam strategi ini, pengembangan kemampuan untuk melakukan kompetensi dengan standar yang telah ditetapkan. Tujuan dari program ini adalah peserta pendidikan mampu mengetahui, menyikapi, dan melakukan materi pembelajaran secara bertahap dan berkelanjutan hingga akhirnya menjadi kompeten berdasarkan rancangan standar yang diatur oleh pendidikan pusat. Pelaksanaan program ini tidak bertahan lama, karena pada tahun 2004 strategi ini direvisi menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dimana konsep yang ditawarkan masih sama yaitu mengacu pada basis kompetensi. Perbedaannya adalah pihak sekolah mempunyai otoritas untuk menyusun program pendidikan dengan tujuan yang sama. Jadi dalam sistem ini sekolah memiliki kreasi untuk menyelanggarakan pendidikan namun dengan tujuan yang sudah dapat ditentukan oleh pemerintah pusat.
Belajar dari dinamika perkembangan strategi pendidikan di Indonesia di atas, secara umum dapat dipetik sebuah ide brilian untuk di terapkan dalam mendukung upaya meningkatkan kerjasama regional dalam bidang pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan di Asia Tenggara. Karena gagasan-gagasan strategi pendidikan ini muncul karena latar belakang yang sama berupa ketidakmerataan taraf pendidikan dan latar belakang budaya di berbagai regional di Asia Tenggara, kesenjangan pendidikan karena dukungan fasilitas berupa akses dan informasi pendidikan di masing-masing daerah tidak merata, dan negara-negara di Asia Tenggara juga memiliki tujuan yang sama berupa pengembangan sumber daya manusia yang berkompeten dengan standar kebijakan-kebijakan lokal masing-masing negara.
Strategi yang harus dikembangan di regional kita harus memiliki esensi yang tersirat dalam sistem pembejaran yang pernah diterapkan di masing-masing negara di ASEAN. Ruh yang pertama adalah dalam perannya, unsur pendidikan memiliki kesadaran untuk menjadi teladan jika kondisinya sudah mapan dan berkembang pesat dibandingkan unsur pendidikan di beberapa regional lainnya. Nilai yang dapat di ambil adalah sumber daya manusia yang berpengatahuan harus menjadi teladan yang baik bagi masyarakat sekitar yang masih terbelakang. Ruh yang kedua adalah dalam fungsinya, ketika strategi pendidikan ini lebih menitikberatkan pada seluruh elemen pendidik berupa pengajar, peserta ajar, pemerintah sebagai penentu kebijakan, sekolah sebagai penyelenggara dan orang tua sebagai pendukung pembelajaran. Kelima aspek ini berfungsi memberikan kontribusi berupa karya nyata  untuk masyarakat dan berkomitmen untuk berkembang seiring dengan kebutuhan masyarakat sesuai dengan kebijakan pemerintah lokal. Ruh yang terakhir mengenai komitmen pendidikan untuk tidak menjadi sarana komerisalisasi yang hanya memberikan keuntungan bagi sebagian pihak dan merugikan pihak lain secara tidak langsung. Pendidikan harus berkomitmen untuk menjadi motor penggerak kemajuan peradaban tanpa ada tujuan-tujuan komersial yang akan memperburuk citra pendidikan itu.
Dari ketiga ruh ini akan muncul sosok para pemimpin muda yang lahir dari rahim pendidikan kita untuk menjadi sosok-sosok inspiratif bagi masyarakat. Totalitas berjuang untuk negeri tanpa tercemar racun-racun pemikiran asing yang bersifat destruktif, hingga akhirnya terjerumus dalam dominasi negara-negara luar. Sudah saatnya kita sebagai bangsa-bangsa di ASEAN mulai berteriak kepada dunia dan bangga mengatakan, “Inilah kami anak-anak bangsa yang siap membangun negeri dan berkontribusi untuk dunia!”

Hakikat Pendidikan

Apa sih hakikat pendidikan? Apakah tujuan yang hendak dicapai oleh institusi pendidikan?


Agak miris lihat kondisi saat ini. Institusi pendidikan tidak ubahnya seperi pencetak mesin ijazah. Agar laku, sebagian memberikan iming-iming : lulus cepat, status disetarakan, dapat ijazah, absen longgar, dsb. Apa yang bisa diharapkan dari pendidikan kering idealisme seperti itu. Ki hajar dewantoro mungkin bakal menangis lihat kondisi pendidikan saat ini. Bukan lagi bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa (seperti yang masih tertulis di UUD 43, bah!), tapi lebih mirip mesin usang yang mengeluarkan produk yang sulit diandalkan kualitasnya.


Pendidikan lebih diarahkan pada menyiapkan tenaga kerja "buruh" saat ini. Bukan lagi pemikir-pemikir handal yang siap menganalisa kondisi. Karena pola pikir "buruh" lah, segala macam hapalan dijejalkan kepada anak murid. Dan semuanya hanya demi satu kata : IJAZAH! ya, ijazah, ijazah, ijazah yang diperlukan untuk mencari pekerjaan. Sangat minim idealisme untuk mengubah kondisi bangsa yang morat-marit ini, sangat minim untuk mengajarkan filosofi kehidupan, dan sangat minim pula dalam mengajarkan moral.


Apa sebaiknya hakikat pendidikan? saya setuju dengan katamencerdaskan kehidupan bangsa. Tapi, ini masih harus diterjemahkan lagi dalam tataran strategis/taktis. kata mencerdsakan kehidupan bangsa mempunyai 3 komponen arti yang sangat penting : (1) cerdas (2) hidup (3) bangsa.


(1) tentang cerdas
Cerdas itu berarti memiliki ilmu yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan real. Cerdas bukan berarti hapal seluruh mata pelajaran, tapi kemudian terbengong-bengong saat harus menciptakan solusi bagi kehidupan nyata. Cerdas bermakna kreatif dan inovatif. Cerdas berarti siap mengaplikasikan ilmunya.


(2) tentang hidup
Hidup itu adalah rahmat yang diberikan oleh Allah sekaligus ujian dari-Nya. Hidup itu memiliki filosofi untuk menghargai kehidupan dan melakukan hal-hal yang terbaik untuk kehidupan itu sendiri. Hidup itu berarti merenungi bahwa suatu hari kita akan mati, dan segala amalan kita akan dipertanggungjawabkan kepada-Nya. Patut dijadikan catatan, bahwa jasad yang hidup belum tentu memiliki ruh yang hidup. Bisa jadi, seseorang masih hidup tapi nurani kehidupannya sudah mati saat dengan snatainya dia menganiaya orang lain, melakukan tindak korupsi, bahkan saat dia membuang sampah sembarangan. Filosofi hidup ini sangat sarat akan makna individualisme yang artinya mengangkat kehidupan seseorang, memanusiakan seorang manusia, memberikannya makanan kehidupan berupa semangat, nilai moral dan tujuan hidup.


(3) tentang bangsa
Manusia selain sesosok individu, dia juga adalah makhluk sosial. Dia adalah komponen penting dari suatu organisme masyarakat. Sosok individu yang agung, tapi tidak mau menyumbangkan apa-apa apa-apa bagi masyarakatnya, bukanlah yang diajarkan agama maupun pendidikan. Setiap individu punya kewajiban untuk menyebarkan pengetahuannya kepada masyarakat, berusaha meningkatkan derajat kemuliaan masyarakat sekitarnya, dan juga berperan aktif dalam dinamika masyarakat. Siapakah masyarakat yang dimaksud disini? Saya setuju bahwa masyarakat yang dimaksud adalah identitas bangsa yang menjadi ciri suatu masyarakat. Era globalisasi memang mengaburkan nilai-nilai kebangsaan, karena segala sesuatunya terasa dekat. Saat terjadi perang Irak misalnya, seakan-akan kita bisa melihat Irak di dalam rumah. Tapi masalahnya, apakah kita mampu berperan aktif secara nyata untuk Irak (selain dengan doa ataupun aksi)? Peran aktif kita dituntut untuk masyarakat sekitar...dan siapakah masyarakat sekitar? tidak lain adalah individu sebangsa.
inilah sekelumit tulisan yang saya jadikan pokok pemikiran buat apa itu hakikat pendidikan sebenarnya.

Kapitalisme Pendidikan

Sudah rahasia umum jika pendidikan sekarang sangat mahal. Yah seperti kata buku, orang miskin dilarang sekolah! Memprihatinkan, tapi itulah kenyataannya. Masuk TK saja bisa mencapai ratusan ribu maupun jutaan rupiah, belum lagi kalo masuk SD-SMP-SMA-Universitas yang favorit. Kalau dihitung, seseorang yang masuk TK sampai dengan universitas yang favorit akan menghabiskan 100 juta lebih. Wow!
Sekolah memang harus mahal, itulah stigma yang tertanam di benak sebagian orang, dari orang awam dan bahkan sampai beberapa pejabat depdiknas. benarkah demikian??? Itu adalah omongan sesat, mereka yang bicara ngelantur begitu sudah pasti tidak pernah lihat kondisi luar. Malaysia, Jerman, bahkan Kuba sekalipun bisa membuat pendidikannya sangat murah dan dapat diaksese oleh sebagian besar lapisan masyarakatnya.
Pendidikan yang kapitalistik sekarang ini, yang bertujuan bisnislah yang membuat biaya-biaya membengkak. Pendidikan diserahkan sebagian kontolnya kepada swasta karena pemerintah yang kurang becus. Ada baiknya swasta ikut mengatur pendidikan sehingga masyarakat pun bisa berperan dalam lembaga pendidikan, tapi walau bagaimanapun ini bukan berarti bahwa pemerintah lepas tangan begitu saja. Ya, kan??? Pendidikan instan ala swasta yang mementingkan bisnis kjadi masalah besar buat dunia pendidikan. kadang terbaca di iklan-iklan, lembaga pendidikan yang menawarkan lulus cepat+absen tidak dihitung+dapat ijazah+dll. Sepertinya, yang penting bagi pendidikan hanyalah dapat ijazah buat kerja saja. Padahal pendidikan ditujukan untuk membangun moral individu dan tingkat pengetahuannya.
Lalu bagaimana caranya agar pendidikan bisa murah?? Wah, ini bukan persoalan gampang,dan jelas butuh pemikiran mendalam. Biar dipikir dan merenung dahulu. Tidak dituliskan disini, karena bakal sangat panjang juga. 

Tokoh Pendidikan Indonesia

 

 

R.A. Kartini dan Ki Hajar Dewantara, Dua Tokoh Pendidikan Indonesia.

 

Kalau kita teliti, jejak perjuangan Kartini adalah perjuangan agar perempuan Indonesia bisa mendapatkan pendidikan yang layak. Bukan perjuangan untuk emansipasi di segala bidang. Kartini menyadari, perempuan memiliki peran penting dalam kehidupan. Agar dapat menjalankan perannya dengan baik, perempuan harus mendapat pendidikan yang baik pula.

Dalam sebuah suratnya, kepada Prof. Anton dan Nyonya pada 4 Oktober 1902 Kartini menulis, ‘Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama”.

Atas kesadaran tersebut, Kartini berniat melanjutkan sekolah ke Belanda, Aku mau meneruskan pendidikanku ke Holland, karena Holland akan menyiapkan aku lebih baik untuk tugas besar yang telah kupilih” (Surat Kartini kepada Ny. Ovink Soer, 1900). Waktu itu, Kartini beranggapan bahwa Eropa adalah tempat peradaban tertinggi dan paling sempurna di muka bumi. Namun, rencana itu tak pernah berhasil. Kartini hanya mendapat kesempatan menempuh sekolah guru di Betawi. Kesempatann ini pun batal dijalaninya karena dia harus menikah dengan R.M.A.A. Singgih Djojo Adhiningrat.

Walaupun awalnya banyak menentang adat Jawa yang kaku dan kebiasaan bangsawannya berpoligami, Kartini menerima pernikahan tersebut. Ada sebuah kesadaran di benaknya, dengan menikah dia akan berkesempatan untuk mendirikan sekolah bagi perempuan bumiputra. Alasan ini masuk akal karena suaminya adalah seorang bupati yang berkuasa dan mengizinkan bahkan mendukungnya untuk mendirikan sekolah. Keputusan yang luar biasa dari seorang pahlawan sejati.
Pada hari pernikahannya, seorang ustad dari Semarang, Haji Mohammad Sholeh bin Umar, menghadiahkan beberapa juz al-Quran berbahasa Jawa. Kegelisahan Kartini terhadap agama Islam pun terjawab. Sebelumnya, dalam kehidupan sehari-harinya Kartini hanya diajarkan membaca al-Quran tanpa diizinkan untuk mengetahui artinya.

Setelah mempelajari al-Quran, pandangan Kartini terhadap beberapa hal pun berubah. Di antaranya, pandangannya terhadap peradaban Eropa, “…, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?” (Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902). Pandangan Kartini terhadap poligami pun berganti, jika awalnya menentang, setelah mengenal ajaran Islam dia menerimanya.

Sayangnya, Haji Mohammad Sholeh meninggal sebelum sempat menyelesaikan seluruh terjemahan al-Quran untuk Kartini. Kartini pun hanya mempelajari beberapa jus terjemahan tersebut. Jika saja dia sempat mempelajari keseluruhan Al Quran, tidak mustahil ia akan menerapkan semua kandungannya. Kartini berani berbeda dengan tradisi adatnya yang mapan, dia juga memiliki ketaatan yang tinggi terhadap ajaran Islam. Bukunya yang berjudul Habis Gelap Terbitlah Terangmina dulumati ila nuur. Kartini menyadari bahwa sumber pendidikan terbaik justru ada di dekatnya, yaitu Al-Quran, bukan di Eropa. pun terinspirasi dari Surat Al-Baqarah ayat 193:
13 Septembar 1904, Kartini meninggal pada usia yang masih muda, 25 tahun dan dimakamkan di Rembang. Untuk menghormatinya, Van Deventer, seorang tokoh politik Etis, mendirikan Yayasan Kartini (1912). Yayasan tersebut bertugas mengelola “Sekolah Kartini” yang didirikan di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan daerah lainnya.

Ki Hajar Dewantara

Tokoh ini sangat identik dengan pendidikan di Indonesia. Dia dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional. Hari lahirnya diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya pun dipakai oleh Departemen Pendidikan RI sebagai jargon, yaitu tut wuri handayani, ing madya mangun karsa, ing ngarsa sungtulada (di belakang memberi dorongan, di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa, di depan memberi teladan).

Ki Hajar Dewantara dilahirkan di Yogyakarta (2 Mei 1889) dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Semasa kecilnya, RM Soewardi Soeryaningrat sekolah di ELS (SD Belanda). Kemudian, ia melanjutkan ke STOVIA (sekolah dokter bumiputra), namun tidak tamat. Setelah itu, dia bekerja sebagai wartawan di SedyotomoMidden JavaDe ExpressOetoesan HindiaKaoem MoedaTjahaja Timoer, dan Poesara. Tulisan-tulisannya sangat tajam dan patriotik sehingga membangkitkan semangat antipenjajahan.

Selain menjadi wartawan, RM Soerwardi Soeryaningrat juga aktif di organisasi sosial dan politik. Tahun 1908 ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo. Kemudian, bersama Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (25 Desember 1912) yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka. Namun partai ini ditolak oleh pemerintah Belanda.

Kemudian, ia dan kawan-kawannya membentuk Komite Bumipoetra (1913) untuk melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis. Untuk membiayai pesta tersebut Pemerintah Belanda menarik uang dari rakyat jajahannya. RM Soewardi Soeryaningrat mengkritik lewat tulisannya “Als Ik Eens Nederlander Was” (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan “Een voor Allen maar Ook Allen voor Een” (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga).

Akibat tulisannya itu, RM Soerwardi Soeryaningrat dijatuhi hukuman buang ke Pulau Bangka oleh Gubernur Jenderal Idenburg tanpa proses pengadilan. Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo yang merasa rekan seperjuangan diperlakukan tidak adil menerbitkan tulisan untuk membela Soewardi. Belanda menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk memberontak pada pemerinah kolonial. Akibatnya, keduanya pun terkena hukuman buang, Douwes Dekker ke Kupang dan Cipto Mangoenkoesoemo ke Banda.

Hukuman itu ditolak, mereka meminta untuk dibuang ke Negeri Belanda agar bisa belajar. Keinginan tersebut diterima dan mereka diizinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman. Selama di negara kincir angin tersebut, Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte dan kembali ke tanah air pada 1918.

Sekembalinya ke tanah air, bersama rekan-rekannya, RM Soewardi Soeryaningrat mendirikan Perguruan Nasional Tamansiswa (3 Juli 1922). Perguruan ini mendidik para siswanya untuk memiliki nasionalisme sehingga mau berjuang untuk memperoleh kemerdekaan. Demi memuluskan langkahnya-langkahnya, RM Soewardi Soeryaningrat pun berganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara. Sebagai seorang bangsawan yang berasal dari lingkungan Kraton Yogyakarta dan dengan gelar RM di depan namanya, dia kurang leluasa bergerak.

Aktivitas Tamansiswa pun ditentang oleh Pemerintah Belanda melalui Ordonasi Sekolah Liar pada 1932. Dengan gigih RM Soewardi Soeryaningrat pun berjuang hingga ordonansi itu dicabut. Sambil mengelola Tamansiswa, RM Soewardi Soeryaningrat tetap rajin menulis. Namun bukan lagi soal politik, melainkan soal pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.

Tahun 1943, ketika Jepang menduduki Indonesia, Ki Hajar Dewantara bergabung ke Pusat Tenaga Rakyat (Putera). Di organisasi tersebut, dia menjadi salah seorang pimpinan bersama Soekarno, Muhammad Hatta, dan K.H. Mas Mansur. Setelah Indonesia merdeka, ia pun dipercaya menjabat Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan yang pertama. Berbagai aktivitasnya dalam memperjuangkan pendidikan di tanah air sebelum hingga Indonesia merdeka tersebut, membuatnya dianugerahui gelar doktor kehormatan oleh Universitas Gadjah Mada (1957).

Ki Hajar Dewantara meninggal pada 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di Kampung Celeban (Yogyakarta). Kemudian, atas jasa-jasanya, pendiri Tamansiswa itu ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional. Ki Hajar Dewantara pun mendapat gelar Bapak Pendidikan Nasional dan tanggal kelahirannya, 02 Mei, ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Itulah dia, R.A. Kartini dan Ki Hajar Dewantara. Bangsa ini perlu mewarisi semangat mereka dalam memajukan manusia Indonesia dengan sepenuh hati dan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan jenis kelamin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar